Sabtu, 27 Agustus 2011

Viewing Death in a Positive Way

I have a new hobby now, watching documentaries, most of which I got from BBC. This new hobby surely broadens the horizon for me. I get to know more and more about big bang theory, evolution, creation of the universe, human body, psychology, and many more. I am always attracted by such things because back in my high school days, I was a natural sciences student. So, these documentaries help me to understand the things that the education system failed to provide back then. A good example would be a documentary series called BBC Human Body that spans seven big things in live every human being encounters from birth to death.
The first documentary showed that birth is the most dangerous thing every person has to experience, physically. But after watching all the films, especially the seventh part of the series (The End of Life), I would like to add something. The end of life is the most dangerous thing every person has to experience mentally. Eventually, every human will face his/her death. Based on what I saw in the seventh part, watching a person dying is surely an unpleasant experience.
The End of Life described the slow death that was experienced by a man named Herbie. He had got a cancer with the size of 2 soccer balls in his stomach. Herbie knew for sure that his time was coming so he asked for a euthanasia injection, but was refuted by the nurse as it is against the law there. That means he had to cope with the malignant cancer in his body until he died. Luckily, his wife Hannelore took good care of him day after day.
In the film, Herbie mentioned that he believed that dust turns to dust. He didn’t believe in the afterlife. That was why he wanted to savor every moment he had. He just enjoyed the short time he had on earth until he died in 1997. Her wife couldn’t even cry during his death. She said that she was happy for Herbie because he had been released from all the pain he had. I couldn’t agree more.
The question is simple, are we ready to face death as him? No. I believe nobody is ready to experience death. Here I don’t just talk about the death of our selves, but also the death of our loved ones, or the people that are close to us. So I’ve decided, just like Herbie I will enjoy and make the best of the rest of the time I have on earth. While I am healthy, I want to achieve great things. I don’t care if I make mistakes in the process, because life is all about making and correcting mistakes.

Kamis, 12 Agustus 2010

Abigail Williams - I Am God

I oppose the light
I am the bringer of storms and eternal fire
Into the night
I am the ruler of this mortal world
Under a pale night sky blood rains from above
Curdled and spoiled

I am the walker of ethereal worlds
Marked by the shadows
Eternally yours
Unblessed be
Behind the vastness of the sorrow
I see no traces of light through the silence of night
I am the earth

Shattered images
A grain of salt
What we once were, what we once lost,
Cursing the dawn of man to hell
Black candles burning
Darkness and death
Beyond the light of the sun
Make no mistake
I am God

Damnation
Harvesting the ruin of another failed
Creation
The sign of evil, the path of the wolf
Invocation
In the morning twilight, elemental wisdom
Elimination
Of the weak, slit their throats to the spine

I am God
In the burning darkness, death and beyond
I am God
The center of the earth shall be my throne

Rabu, 09 Juni 2010

Martyr Defiled - Masochrist Lyrics

Vicious fundamental beliefs lead to the restraint of independent thought - where did the message of hope get fucking lost? FAITH IS A FUCKING LIE. Left to face salvation at the hands of a god we never believed in - how can we ever find the courage to break free from the cycle of regurgitated bullshit? WE ARE ALL FUCKED. Enlightened man makes the decision for his peers, and to contest is what we call sacrilege. THIS IS NOT THE PATH TO SALVATION, THIS IS NOT A ROAD TO REDEMPTION -
we are all born to serve in our own private and personal hell. THERE IS NO ESCAPE.

Giving up their life to serve a false cause, can't they see they're living a lie? NOTHING IS REAL, everything is a pretense to another end - we will lie beneath the ground. TOTAL WORLD DOMINATION IS THE END GOAL- we're all fucked.

The powers that reign in our intellectual sensitivies are the same that control our influx of our life supply. THE ONLY TRUTH IS THERE IS NO TRUTH - we are all force fed digested and remnants of lies.

Cut Tari and Ariel Peterporn Video Link

This is even better compared to Luna Maya counterpart.
The link is:
http://hotfile.com/dl/47045773/9a3cab0/ariel_cut_tari.mp4.html

Jumat, 04 Juni 2010

Luna Maya and Ariel Peterporn Sex Videos

Want to see sex videos of Luna Maya doppelganger, go check www.mediafire.com/jesusfuckingchrist and look for the download links. For your information, Luna Maya is a famous female celebrity/MC/model from Indonesia.

Video 1:
http://www.mediafire.com/download.php?xgglgtumajm
Video 2:
http://www.mediafire.com/download.php?w13mp0meazt

Rabu, 26 Mei 2010

Cheap Monday

Intro
Sejalan dengan sejarah peradaban, manusia telah mengalami beberapa kali revolusi mulai dari masa nomaden, hidup menetap, agraris, industri manufaktur, sampai ke era teknologi informasi. Berbarengan dengan perkembangan tersebut, semua bidang kehidupan pun mengalami perkembangan dan evolusinya masing-masing. Semuanya pun saling mempengaruhi satu sama lain layaknya unsur-unsur dalam sebuah sistem Salah satu bidang yang mengalami perkembangan menarik dari masa ke masa adalah pakaian. Tren berpakaian atau biasa dikenal dengan fashion telah mengalami perkembangan dari sarana penutup tubuh manusia yang sederhana hingga menjadi sesuatu yang kompleks, yaitu sebagai alat untuk menunjukkan status sosial, menjaga prestise/gengsi, mengekspresikan diri, mengidenfifikasikan diri ke dalam kelompok tertentu, sampai dengan melakukan resistensi terhadap nilai-nilai tertentu.
Meskipun telah dimulai berabad-abad silam, perkembangan dunia fashion mengalami jaman keemasannya di abad ke-20 hingga kini. Kini, di abad ke-21, fashion pun menjadi komoditi dunia bisnis. Hal ini terlihat dengan berbagai macam merek dan model pakaian yang ditawarkan di seluruh dunia. Pengelompokan-pengelompokan yang ada membawa fashion ke dalam berbagai macam klasifikasi. Secara umum, ada fashion yang biasa-biasa saja (seperti produk massal yang dijual di toko-toko) dan ada pula yang dibuat secara spesial/khusus (melibatkan perancang profesional). Kelebihan jenis fashion yang kedua ini adalah kelasnya yang dinilai lebih tinggi dibandingkan kelas pertama. Biasanya fashion jenis ini biasa disebut dengan high-end fashion atau designer fashion dan harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan jenis standar massal. Sekedar informasi, harga designer fashion biasanya dipatok minimal US$ 100. Lebih jauh lagi, individualitas pun lebih diutamakan dalam fashion jenis ini, para perancang berupaya menampilkan gaya yang berbeda dari rancangan-rancangan yang lain dengan pemberian sentuhan yang unik.
Dengan adanya pembagian kelas ini, maka secara otomatis merek-merek fashion yang dijual pun akan dibedakan menurut kelasnya. Bagi orang-orang di kota besar, semakin tinggi prestise sebuah merek, maka semakin tinggi kepuasan yang didapatkan ketika mereka mengenakan busana merek tersebut. Kawula muda di kota-kota besar di seluruh dunia, yang merupakan pasar fashion potensial, tak ketinggalan mengadopsi gaya ini. Mereka bersaing satu sama lain untuk menampilkan pakaian yang up to date dan yang mereknya bergengsi tinggi.

Jika di tahun 1990-an seseorang bisa dibilang berkelas jika mengenakan “setelan sejuta”, maka tidak heran jika kini orang baru disebut berkelas jika dia mengenakan “setelan 10 juta”, atau bahkan kalau mau benar-benar serius, “setelan 50 juta”. Hal ini menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis yang menjadi “norma” bagi orang yang ingin menjaga kelasnya. Namun, harga mahal bukanlah segala-galanya dalam fashion era kontemporer. Masih banyak aspek-aspek lain yang mempengaruhi bergengsi atau tidaknya sebuah busana, salah satu di antaranya adalah aktualitas.
Bagi kawula muda yang benar-benar memperhatikan fashion, aktualitas atau kebaruan merek adalah sesuatu yang vital. Untuk jeans misalnya, merek bergengsi dan mahal namun sudah usang seperti Levis tidak lagi populer. Kini, mereka lebih tertarik pada merek seperti Cheap Monday, Nudie, Evisu, True Religion, Rock & Republic, Rogan, Acne, dan lain-lain . Di antara merek-merek baru tersebut, satu merek yang menarik untuk dibahas adalah Cheap Monday. Cheap Monday merupakan merek fashion yang sebenarnya merupakan designer fashion, namun harganya lebih murah, yakni sekitar 400 kronor (atau US $50). Meskipun menurut standar Indonesia harganya masih cukup mahal, merek ini cukup digemari di kalangan kawula muda penggemar fashion di Bandung dan Jakarta sejak sekitar tahun 2007.

Cheap Monday: Sebuah Pernyataan Sikap

Sejak kemunculannya pada Maret 2004 di Stockholm (Swedia), Cheap Monday telah mengalami perkembangan pesat dan kini cabangnya dapat ditemukan di 20 negara dan sekitar 1.500 toko (agen dan distributor) di seluruh dunia, terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang,Australia, Kanada, dan bahkan Timur Tengah . Cheap Monday sendiri pertama masuk ke kancah bisnis fashion dengan rilisan jeans bergaya punk-rock. Seiring dengan perkembangan bisnisnya, produk yang dijual pun bukan hanya jeans, namun juga kaos, tank top, sweater, dan jaket (baik untuk pria maupun wanita). Kelebihannya, meskipun bahan pakaian yang digunakan merupakan bahan high-end fashion, harganya masih termasuk murah untuk designer fashion .
Örjan Andersson, pendiri Cheap Monday, menyatakan bahwa di akhir abad ke-19 jeans merupakan pakaian untuk kelas pekerja (yang sebenarnya tidak mahal). Mungkin Cheap Monday dapat mengembalikan denim/jeans ke akarnya seperti dahulu . Di samping itu, Cheap Monday sendiri memiliki ciri khusus yang mudah diingat, yaitu adanya logo tengkorak yang pada dahinya ada cap salib terbalik.


Cheap Monday Logo Pictures, Images and Photos


Logo ini diciptakan oleh Björn Atldax dan Karl Grandin dari bagian grafis dan pemasaran Cheap Monday.
Sekedar informasi, salib terbalik sebenarnya memiliki 2 arti, yakni :
1 Salib terbalik (tanpa tubuh Yesus) merupakan lambang kemartiran dari Santo Petrus (biasa disebut dengan Petrine Cross). Petrus memilih disalib terbalik untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah apa-apa (merendahkan diri) di hadapan Yesus yang menurut kisah Kekristenan telah berkarya dengan menebus dosa seluruh umat manusia. Gereja Katolik Roma tidak melihat Petrine Cross sebagai lambang setan. Salib terbalik baru yg dianggap lambang satanisme/antikristus jika Yesus disertakan dan sama-sama dibalikkan bersama salib tersebut.
2 Beberapa dekade terakhir, salib terbalik sering dianggap sebagai simbol satanisme, anti-Kekristenan, dan anti-kristus. Pembalikan salib Latin ini akhirnya menjadi populer di kalangan anti-agama dan musisi death/black metal. Dalam budaya pop, salib terbalik yang merepresentasikan setan pun dimunculkan dalam film-film seperti The Exorcism of Emily Rose dan The Omen .


Berbicara mengenai logo yang provokatif dan mengundang pertanyaan tersebut, Cheap Monday sempat menyatakan bahwa hal tersebut merupakan lelucon semata. Örjan Andersson menyatakan bahwa dia hanya menginginkan logo yang menarik untuk label besutannya dan dia memang tidak tertarik pada agama. Selanjutnya dia juga menyatakan bahwa dirinya tidak percaya akan tuhan dan setan. Sementara itu, Atldax, yang membuat logo tersebut, menyatakan hal lain, menurutnya, ada makna yang lebih dalam dari logo tersebut. Baginya, salib terbalik yang ditampilkannya merupakan sebuah pernyataan penentang Kekristenan.


Sesuai dengan yang dilansir oleh Associated Press, Atldax menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang Satanis, namun dia memiliki ketidaksukaan yang kuat pada agama. Hal ini pun akhirnya mengundang kontroversi dan membuat banyak toko melarang penjualan produk Cheap Monday karena pesan anti-kemapanan yang dihembuskannya . Lebih jauh lagi, Atldax pun menegaskan bahwa rancangan-rancangan grafis yang dibuatnya (untuk Cheap Monday) memiliki tujuan di samping menjual denim semata, dia ingin membuat orang-orang muda untuk mempertanyakan Kekristenan sebagai “kekuatan jahat” yang menurutnya memicu peperangan-peperangan sepanjang sejarah.
Kemungkinan besar, karena pernyataan anti-kemapanan yang ditampilkan dalam logo itulah, Cheap Monday menjadi sangat populer, terutama di kalangan kawula muda di Swedia sampai-sampai Cheap Monday sempat mendapat nominasi “rancangan jeans terbaik” oleh Elle Magazine . Di sisi lain, Cheap Monday mengakui bahwa perusahaannya telah menerima keluhan-keluhan mengenai logo tengkorak dan salib terbaliknya, sebab logo tersebut memang sudah secara umum diasosiasikan dengan satanisme atau pemujaan terhadap setan.
Meskipun begitu, angka penjualan bercerita lain, sejak Maret 2004, jeans yang terjual telah mencapai lebih dari 200.000 buah. Kawula muda Indonesia, terutama yang ada di Bandung dan Jakarta pun termasuk konsumen yang berpartisipasi menyukseskan penjualan jeans anti-agama tersebut. Sayangnya, yang menjadi masalah adalah, tidak semua pengguna jeans Cheap Monday di Indonesia tahu bahwa Cheap Monday sebenarnya merupakan pernyataan anti-Kekristenan secara khusus atau anti-agama secara umum.
Sebagai buktinya, beberapa siswa SMU swasta Katolik terkemuka di Bandung baru mengetahui bahwa jeans Cheap Monday sebenarnya merupakan medium yang dimanfaatkan untuk menyampaikan nilai anti-Kekristenan setelah mereka menerima penjelasan dari saya. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa Atldax sengaja membuat logo salib terbalik untuk menyampaikan nilai-nilai “enlightenment” yang dipegangnya. Awalnya, mereka hanya ikut-ikutan saja membeli celana jeans Cheap Monday karena tren fashion yang ada. Ketidaktahuan inilah yang membuat mereka sampai membela-bela untuk membeli celana Cheap Monday di Singapura.

Dalam sebuah tulisan di situs MSNBC , dinyatakan bahwa logo salib terbalik (yang belakangan dianggap sebagai simbol satanisme) tidak mengganggu penjualan Cheap Monday. Hal ini disebabkan oleh sekularisme di Swedia yang menghargai kebebasan berpendapat dan angka kunjungan ibadat ke gereja yang selama beberapa dekade terus turun. Namun, yang menjadi masalah adalah, apakah merek Cheap Monday dapat masuk ke negara-negara yang mayoritas penduduknya masih religius? Pendapat Atldax mengenai agama dapat memicu kehebohan bahkan keributan besar jika Cheap Monday membuka cabang di Indonesia (sebenarnya di Bandung sudah cukup banyak celana Cheap Monday versi tiruan/palsu, tetapi masih banyak yang belum tahu-menahu mengenai nilai-nilai yang sebenarnya diangkat Cheap Monday).
Atldax menyebutkan bahwa dia membenci organized religion dan kongregasi (jemaat). Dalam sebuah artikel, sempat dinyatakan bahwa yang diserang Atldax bukan hanya Kekristenan, tetapi, secara keseluruhan, juga agama-agama lain yang terorganisir., maka sudah jelas bahwa dia membenci agama Yahudi, Katolik/Kristen, dan Islam. Bo Larsson, pimpinan Departemen Pendidikan, Penelitian, dan Budaya Gereja Lutheran Swedia (gereja terbesar di Swedia), bahkan menyatakan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dengan adanya logo fashion semacam ini.
Menurutnya, para perancang hanya ingin menciptakan opini publik melawan Kekristenan saja. Namun, pendeta lain berbicara lebih keras dan menentang keberadaan Cheap Monday. Pendeta Karl-Erik Nylon dari Gereja Mary Magdalene di Stockholm mengeluh bahwa perusahaan-perusahaan Swedia tidak memperlakukan Kekristenan seperti agama lain. Menurutnya, tidak ada yang mau memprovokasi orang Yahudi/Islam, tetapi orang-orang Kristen malah bebas diprovokasi.
Penentangan lain datang dari Joe Schimmel yang menulis “Buyer Beware” untuk Good Fight Ministries (Amerika Serikat). Mereka mengajak pembeli untuk waspada pada Cheap Monday yang dianggap mengangkat nilai-nilai Satanisme di kalangan muda-mudi Swedia (meskipun sudah jelas bahwa tim Cheap Monday sendiri bukanlah Satanis). Good Fight Ministries menyebutkan bahwa Swedia yang merupakan negara paling liberal dan anti-Kristus. Menurut mereka, Swedia telah mengambil langkah besar dalam menjauhi tuhan (sang pencipta) menuju kematian dan kegelapan.

Pandangan sempit ini dinilai cukup wajar di kalangan orang yang fanatik pada agama, namun akhirnya pandangan ini tidak begitu berarti, sebab kalangan muda Eropa memiliki kecenderungan tidak mempedulikan agama karena sekularitas yang dibangun sejak jaman Pencerahan (Age of Enlightenment) beberapa abad silam.


Cheap Monday sebagai Sebuah Wacana
Penentangan terhadap agama yang dilakukan Cheap Monday lewat bahasa visual berupa logo yang disampaikannya merupakan sebuah wacana yang merupakan praktik sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Fairclough dan Wodak (1997, dalam Wodak dan Meyer, 2001: 1) yang menganggap bahasa sebagai praktik sosial. Habermas pun menganggap bahasa sebagai kekuatan sosial (Habermas, 1977: 259). Fairclough dan Kress pun mengungkapkan,
A fully 'critical' account of discourse would thus require a theorization and description of both the social processes and structures which give rise to the production of a text, and of the social structures and processes within which individuals or groups as social historical subjects, create meanings in their interaction with texts (Fairclough and Kress, 1993: 2ff.).

Maksudnya adalah, sebuah analisis kritis wacana membutuhkan teorisasi dan deskripsi proses dan struktur sosial yang membangun teks dan struktur dan proses dimana individu atau kelompok sebagai subjek historis menciptakan makna dalam interaksinya dengan teks. Untuk mengerti mengapa Atldax dan kawan-kawannya di Cheap Monday melakukan resistensi terhadap agama, harus dilihat struktur dan proses sosial yang terjadi di tempat mereka berada, yakni Swedia.
Gerakan anti-agama atau khususnya anti-Kekristenan di Eropa bermula dari sekularitas yang dibangun selama berabad-abad. Dari sebuah survei yang dilakukan New York Times di tahun 1999 terungkap bahwa 75% responden Amerika Serikat menyebutkan bahwa iman kepada tuhan merupakan salah satu nilai terpenting mereka pegang. Survei serupa yang melibatkan responden Swedia di tahun 1990 hanya menghasilkan angka 8% populasi saja yang mengganggap bahwa tuhan sangat penting dalam kehidupan mereka (Petursson dan Johnson: 1994, 154) .
Semua negara Skandinavia mengikuti kecenderungan ini, sebagai negara-negara Uni Eropa lainnya, tapi Swedia tetap nomor satu dalam hal sekularitas. Dikarenakann sekularitasnya, banyak yang menganggap negara-negara Skandinavia memusuhi agama, tapi sebenarnya hal itu tidaklah benar. Negara-negara di kawasan Skandinavia cenderung cuek tidak peduli pada agama. Hal yang mereka musuhi adalah pandangan penuh nafsu/gairah terhadap agama. Orang di Swedia misalnya, akan merasa gelisah jika seseorang menyatakan dirinya benar-benar percaya atau tidak percaya pada tuhan.
Di sana, mengangkat subjek mengenai agama dianggap sebagai kelakuan yang tidak baik (atau sedikit gila). Jadi, pada dasarnya, mereka tidak peduli pada agama. Sebuah tulisan berjudul Scandinavian Studies karya Richard Tomassen menjelaskan bagaimana orang-orang di Swedia menjadi tidak peduli pada agama. Ketidakpedulian pada agama ini dianggap sebagai representasi langkah baru dalam perkembangan sosial manusia . T. S. Eliot dalam Chorus from The Rock mengungkapkan bahwa “Men have left god not for other gods, they say, but for no god, and this has never happened before”. Maksudnya adalah, manusia telah meninggalkan tuhan, namun bukan untuk tuhan-tuhan yang lain, melainkan untuk ketidakadaan tuhan, dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Daerah Skandinavia merupakan wilayah paling sekuler di dunia barat. Kehadiran di gereja sangatlah rendah, meskipun keanggotaannya tinggi. Kepercayaan agama di sana bersifat samar-samar dan berintensitas rendah. Oleh karena itu, tingkat ketidakpercayaan pada agama sangatlah tinggi. Otoritas-otoritas religius hanya memiliki pengaruh kecil pada opini dan kebijakan publik di sana. Namun, di sana tetap masih ada gerakan anti-kependetaan.
Sekularitas di kawasan Skandinavia tersebut awalnya dimulai dari Reformasi Protestan di abad ke-16. Tiap-tiap negara (Denmark, Norwegia, Iceland, Swedia, Finlandia) memiliki perjalanan historis masing-masing dalam hal ini. Namun, masalah pemisahan negara dan agama di Swedia sudah diangkat sejak akhir abad ke-19 dan akhirnya negara dan agama benar-benar mengalami perceraian mulai 1 Januari 2000. Alan D. Gilbert (1980, 9), ahli sejarah agama dan sekularisasi di Inggris telah meramalkan bahwa norma, nilai, dan tata cara dalam memaknai realitas, berbarengan dengan simbol dan ritual yang mengangkat dan meneguhkannya telah terbebaskan secara keseluruhan dari asumsi-asumsi ketergantungan manusia akan pengaruh atau kekuatan supernatural. Maka dari itu, dunia natural akan dianggap otonom, dan karenanya, pengetahuan, nilai, dan struktur sosial akan ditata sesuai dengan prinsip-prinsip duniawi.
Ramalan ini berlanjut dengan pernyataan bahwa agama-agama resmi akan termarjinalkan, dan ketidakreligiusan akan menjadi universal. Orang-orang akan bertindak dan berpikir secara sekuler dalam hal sebab-akibat. Formulasi ekstrim ini belum ada di masyarakat manapun, tetapi Swedia memiliki karakteristik yang sangat dekat dengan ramalan ini.

David Martin (1978) dalam A General Theory of Secularization sempat mengatakan bahwa Swedia akan menjadi negara tersekuler di masyarakat barat. Goran Therborn pun mengungkapkan data yang menunjukkan bahwa Swedia merupakan negara Eropa Barat yang tingkat kepercayaan kepada tuhan dan kehadiran di gerejanya paling rendah (1995, 275). Dekade 1990 di Swedia diwarnai dengan hasil survei yang menyatakan bahwa hanya 15% dari populasi saja yang percaya pada tuhan sebagai sebuah pribadi dan hanya 19% orang yang percaya pada kehidupan setelah kematian (sesuai dengan kutipan dari European Values System Study of 1990 (Hamberg: 1994, 179).
Lebih dari setengah abad lalu (21 Juli 1949), Herbert Tingsten, ilmuwan politik dan pemimpin redaksi Dagens Nyheter, menulis sebuah esai berjudul "Svensk kristendom" (Kekristenan Swedia). Menurutnya, Kekristenan terbesar di Swedia hanya ada pada nama saja (namnkristna). Saat itu, orang-orang masih menyatakan percaya pada tuhan, namun tidak menerima doktrin-doktrin kekristenan. Mereka mempertahankan pendidikan Kristen di sekolah, tapi tidak pergi ke gereja. Kontak mereka dengan agama hanya ada pada pembaptisan, pengesahan, pernikahan, dan pemakaman. Maka, akan sangat jarang politisi Swedia yang mengangkat topik mengenai tuhan, sama jarangnya dengan politisi di Amerika yang menyatakan dirinya adalah atheis.
Terhadap pertanyaan “Seberapa penting tuhan dalam hidup anda?”, dibuat skala 1-10 di mana 1 merepresentasikan “tidak penting sama sekali” dan 10 merepresentasikan “sangat penting”. Jawaban rata-rata yang didapat adalah 3,8, di mana 36% menjawab 1 dan hanya 8% yang menjawab 10. (Petursson and Johnson: 1994, 154).
Hal lain yang juga berpengaruh dalam pembentukan sekularitas dan penurunan kepercayaan Kristen tradisional di Swedia adalah bidang pendidikan. Tahun 1919, pemerintah Swedia menghilangkan pelajaran kitab suci Martin Luther yang telah ada hampir selama 400 tahun dalam rencana pengajaran nasionalnya mulai dari tingkat sekolah dasar. 25 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, pemerintahan sosial demokratis Swedia oposisi radikal terhadap kepercayaan Kristen di sekolah-sekolah di Swedia, dan hal ini pun berhasil. Keberhasilan pemisahan negara dan agama ini tidak muncul begitu saja. Hal ini membutuhkan waktu sekitar 82 tahun sejak Gustav Moller, sekretaris Partai Sosial Demokrat mengajukan penghilangan otoritas gereja dalam aturan-aturan mereka atas nama kebebasan dan demokrasi untuk pertama kali (Hessler: 1964, 436).

Ada 6 penjelasan utama mengapa Swedia bisa menjadi sangat sekuler, yaitu:
1 Swedia tidak pernah tertindas negara lain yang menggabungkan politik dan agama. Negara ini memiliki otonomi penuh sepanjang sejarahnya
2 Homogenitas agama di sana mencegah adanya pembedaan sosial. Hal ini bertentangan dengan situasi agama di Amerika Serikat, Belanda, dan Inggris. Keanekaragaman agama cenderung menonjolkan perbedaan, meskipun di beberapa negara yang memiliki homogenitas Katolik masih ada perbedaan-perbedaan, terutama dalam hal politik dan isu moral.
3 Semasa periode awal modernisasi di tahun 1880 sampai 1910, gereja menyejajarkan diri dengan solid dengan aturan lama dan nilai-nilai tradisionalnya, sehingga membuat segmen masyarakat yang berorientasi pada nilai modern seperti liberalisme dan sosialisme. Namun, ideologi modern berhasil menyentuh dan membuat kalangan bawah menjadi cerdas dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa di beberapa dekade akhir abad ke-19.
4 Aliran Lutheran (terutama yang ada di Swedia) memiliki pemuka agama yang berpendidikan tinggi dengan intelektualitas yang tinggi pula dan menjalankan teologi rasional. Seiring dengan keberhasilan nilai-nilai modern di masyarakat, gereja pun menjadi lebih sekuler.
5 Sejak berakhirnya Perang Dunia I hingga tahun 1960-an, positivisme logis, yang disebut nihilisme nilai di Swedia mendominasi filsafat formal dan kehidupan intelektual. Salah satu figur dominannya adalah profesor filsafat praktis di Uppsala, Axel Hagerstrom (1868 – 1939). Positivisme ini memberi dukungan besar bagi agnostisisme dan ketidakpercayaan pada agama tradisional dan pada pragmatisme dalam hal moralitas konvensional.
6 Partai Sosial Demokrat mendominasi Swedia sejak 1933 hingga 1977 dan merupakan partai dengan periode pemerintahan terpanjang dalam sejarah partai politik di Eropa. 25 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, merupakan periode pertumbuhan ekonomi yang cepat dan luar biasa sukses dikombinasikan dengan optimisme masyarakat di sana. Masa itu juga merupakan masa sekularisasi terhebat .

Kembali ke masalah logo salib terbalik Cheap Monday, Atldax menyatakan bahwa dirinya sengaja membuat logo salib terbalik di atas dahi tengkorak dengan tujuan membuat orang-orang Kristen marah. Dia pun memiliki rencana untuk menciptakan logo anti-Hinduisme dan agama-agama lain, kecuali Islam, sebab menurutnya sudah terlalu banyak sentimen anti-Islam saat ini .
Pendapat lain menyatakan bahwa Atldax sengaja tidak membuat logo anti-Islam karena adanya kekhawatiran di Eropa terhadap potensi kekerasan yang akan muncul dari umat Muslim di Eropa dan benua lain jika logo anti-Islam tersebut benar-benar dibuatnya. Oleh karena itu, mungkin bukanlah ide yang baik untuk membuat orang-orang religius marah secara sengaja, meskipun lingkungan di Swedia memang mendukung tindakan liberal ini.
Iklim liberal seperti di Swedia juga ada di Amerika Serikat. Glen Benton, pentolan grup death metal Deicide merupakan contoh nyata dan aktual dari kebebasan berekspresi. Jika Atldax hanya membuat logo anti-Kristen, Benton berbuat lebih dengan mengecap dahinya sendiri dengan lambang salib terbalik berulang kali (12 kali) . Benton sendiri melakukannya jauh sebelum Atldax membuat logo Cheap Monday. Atldax, Benton, dan orang-orang lain yang melakukan resistensi terhadap tekanan sosial dari dominan otoritas agama sebenarnya sudah melakukan praktik sosial.


benton Pictures, Images and Photos




Referensi

Fairclough, N. and Kress, G. (1993) 'Critical discourse analysis'. Unpublished manuscript.

Habermas, J. 1977. Erkenntnis und Interesse. Frankfurt: Suhrkamp.

Wodak, Ruth and Meyer, Michael. 2001. Methods of Critical Discourse Analysis. London: Sage Publications.

http://www.detectivemarketing.com/a-skull-brand-named-cheap-monday/
http://en.wikipedia.org/wiki/Cross_of_St._Peter

Quotes from Richard Dawkins and Other Thinkers

Quotes By Richard Dawkins:

Religious people split into three main groups when faced with science. I shall label them the "know-nothings", the "know-alls", and the "no-contests".

Religion is a scientific theory.

I suspect that today if you asked people to justify their belief in God, the dominant reason would be scientific. Most people, I believe, think that you need a God to explain the existence of the world, and especially the existence of life.

God is not an old man with a white beard in the sky. Right then, what is God? And now come the weasel words. these are very variable. "God is not out there, he is in all of us." God is the ground of all being." "God is the essence of life." "God is the universe." "Don't you believe in the universe?" "Of course I believe in the universe." "Then you believe in God." "God is love, don't you believe in love?" "Right, then you believe in God?"

Modern physicists sometimes wax a bit mystical when they contemplate questions such as why the big bang happened when it did, why the laws of physics are these laws and not those laws, why the universe exists at all, and so on. Sometimes physicists may resort to saying that there is an inner core of mystery that we don't understand, and perhaps never can; and they may then say that perhaps this inner core of mystery is another name for God. Or in Stephen Hawkings's words, if we understand these things, we shall perhaps "know the mind of God." The trouble is that God in this sophisticated, physicist's sense bears no resemblance to the God of the Bible or any other religion.

Truths about the cosmos are true all around the universe. They don't differ in Pakistan, Afghanistan, Poland, or Norway. Yet, we are apparently prepared to accept that the religion we adopt is a matter of an accident of geography.

When so-called Muslim community leaders go on the radio and advocate the killing of Salman Rushdie, they are clearly committing incitement to murder--a crime for which they would ordinarily be prosecuted and possibly imprisoned. But are they arrested? They are not, because our secular society "respects" their faith, and sympathises with the deep "hurt" and "insult" to it.

We cannot prove that there is no God, but we can safely conclude the He is very, very improbable indeed.

I want to move on from evidence, which is a good reason for believing something , and warn you against three bad reasons for believing anything. They are called "tradition,", "authority," and "revelation."
Tradition: They said things like: "We Hindus believe so and so"; "We Muslims believe such and such"; "We Christians believe something else." Of course, since they all believed different things, they couldn't all be right. Tradition means beliefs handed down from grandparent to parent to child, and so on. Or from books handed down through the centuries. Traditional beliefs often start from almost nothing; perhaps somebody just makes them up originally, like the stories about Thor and Zeus. But after they've been handed down over some centuries, the mere fact that they are so old makes them seem special. People believe things simply because people have believed the same thing over the centuries. That's tradition. The trouble with tradition is that, no matter how long ago a story was made up, it is still exactly as true or untrue as the original story was. If you make up a story that isn't true, handing it down over a number of centuries doesn't make it any truer! People who believe even slightly different things from each other go to war over their disagreements. So you might think that they must have some pretty good reasons - evidence - for believing what they believe. But actually, their different beliefs are entirely due to different traditions.
The tradition that Mary's body was lifted into Heaven is not an old one. The bible says nothing on how she died; in fact, the poor woman is scarcely mentioned in the Bible at all. The belief that her body was lifted into Heaven wasn't invented until about six centuries after Jesus' time. At first, it was just made up, in the same way as any story like "Snow White" was made up. But, over the centuries, it grew into a tradition and people started to take it seriously simply because the story had been handed down over so many generations. The older the tradition became, the more people took it seriously. It finally was written down as and official Roman Catholic belief only very recently, in 1950, when I was the age you are now.
Authority: as a reason for believing something, means believing in it because you are told to believe it by somebody important. In the Roman Catholic Church, the pope is the most important person, and people believe he must be right just because he is the pope. In one branch of the Muslim religion, the important people are the old men with beards called ayatollahs. Lots of Muslims in this country are prepared to commit murder, purely because the ayatollahs in a faraway country tell them to.
The third kind of bad reason for believing anything is called "revelation. When religious people just have a feeling inside themselves that something must be true, even though there is no evidence that it is true, they call their feeling "revelation."

Once something gets itself strongly believed - even if it is completely untrue and there never was any reason to believe it in the first place - it can go on forever. Could this be what has happened with religions ? Belief that there is a god or gods, belief in Heaven, belief that Mary never died, belief that Jesus never had a human father, belief that prayers are answered, belief that wine turns into blood - not one of these beliefs is backed up by any good evidence. Yet millions of people believe them. Perhaps this because they were told to believe them when they were told to believe them when they were young enough to believe anything. Millions of other people believe quite different things, because they were told different things when they were children. Muslim children are told different things from Christian children, and both grow up utterly convinced that they are right and the others are wrong.

Next time somebody tells you something that sounds important, think to yourself: "Is this the kind of thing that people probably know because of evidence? Or is it the kind of thing that people only believe because of tradition, authority, or revelation?" And, next time somebody tells you that something is true, why not say to them: "What kind of evidence is there for that?" And if they can't give you a good answer, I hope you'll think very carefully before you believe a word they say.

Much of what people do is done in the name of God. Irishmen blow each other up in his name. Arabs blow themselves up in his name. Imams and ayatollahs oppress women in his name. Celibate popes and priests mess up people's sex lives in his name. Jewish shohets cut live animals' throats in his name.

More Quotes:
“I contend that we are both atheists. I just believe in one fewer god than you do. When you understand why you dismiss all the other possible gods, you will understand why I dismiss yours.” -Stephen Roberts

“I do not think it is necessary to believe that the same God who has given us our senses, reason, and intelligence wished us to abandon their use.” -Galileo Galilei

According to scientists reality would be unaffected by God’s absence. That is, just as we previously learned that natural phenomena, such as lightning & rain, were unaffected by the absence of ancient gods, we’ve recently learned that our universe, and everything in it, would be unaffected by the absence of any god.

Since self-creation is impossible all conscious beings ultimately owe their existence to the unconscious nature of things. That is, if God had a god, and so on, then the supreme god, with nobody around to create him, and unable to create himself (as stated above), must owe his existence to something other than conscious creation, which is exactly where we were before assuming God had a god.

In addition, most theists claim that God meddles in our affairs; however, according to all studies, including those performed by religious institutions, God does not answer prayers, performs miracles or modifies reality in any other way. For example, according to all relevant statistics, devout believers are no more favored by God than the amoral or atheistic.

Atheists are free to admit the limits of human understanding in a way that religious people are not. It is obvious that we do not fully understand the universe; but it is even more obvious that neither the Bible nor the Koran reflects our best understanding of it.

In most cases, it seems that religion gives people bad reasons to behave well, when good reasons are actually available. Ask yourself, which is more moral, helping the poor out of concern for their suffering, or doing so because you think the creator of the universe wants you to do it, will reward you for doing it or will punish you for not doing it?